Rencana Peraturan Pemerintah. |
Pasal-pasal RPP E-Commerce ada yang memuat hal-hal rancu yang bisa mengurangi kenyamanan berbelanja online / Shutterstock
Rencana Peraturan Pemerintah mengenai E-Commerce yang merumorkan bahwa setiap entitas yang melakukan kegiatan jual-beli secara online harus melalui fase verifikasi terlebih dahulu. Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (RPP TPMSE), nama resmi RPP E-Commerce, ada beberapa pasal yang sebaiknya perlu mendapatkan revisi.
Memang RPP TPMSE tidak melulu bernada negatif. Semangat yang diusung adalah supaya konsumen terlindungi dari permasalahan saat transaksi yang dilakukan secara online tidak berjalan seperti yang diharapkan. Meskipun demikian, ada beberapa pasal yang diusulkan dan tampaknya terlalu ketat, bahkan dibanding praktek di negara maju sekalipun.
RPP TPMSE tertanggal 21 Juni 2015 ini memiliki 87 pasal yang belum rampung secara keseluruhan. Disebutkan bahwa kewajiban verifikasi data diperuntukkan bagi kedua belah pihak, ternyata pada RPP hanya mewajibkan untuk pihak pedagang saja. Bunyi pasal tersebut ialah:
Pasal 18
Ayat (1): Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan transaksi perdagangan melalui sistem elektronik wajib memiliki tanda daftar khusus sebagai Pelaku Usaha Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dari Menteri.
Ayat (2): PTPMSE dan pedagang yang memiliki sistem TPMSE sendiri wajib memiliki izin khusus perdagangan melalui sistem elektronik dari Menteri.
Pasal 19
Ayat (1): Bagi Pelaku Usaha yang telah terdaftar sebagai Pelaku Usaha Transaksi Perdagangan Melalui Sistem elektronik akan mendapatkan Nomor Identitas Perusahaan Secara Elektronik.
Ayat (2): Nomor Identitas Perusahaan Secara Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat dicantumkan dan/atau digunakan sebagai identitas hukum Pedagang atau PTPMSE.
Berdasarkan pasal tersebut, ada tanda daftar khusus yang harus diperoleh sebelum melakukan usaha berbasis online. Tanda daftar khusus yang dimaksud seharusnya membutuhkan nomor KTP dan NPWP sebagai bukti legitimasi bisnis yang dijalankan. Jika pada prosesnya menimbulkan kepelikan tersendiri, tak heran jika nantinya para pelaku e-commerce akan kembali memanfaatkan media sosial untuk berdagang.
Regulasi ini hanya akan meng-expose pemain e-commerce berbasis di Indonesia. Maka tak ayal jika nantinya para pemain akan pindah ke luar negeri, atau alternatifnya para pembeli akan melakukan transaksi di AliExpress, Amazon, eBay, atau situs-situs yang tidak terekspos ke regulasi Indonesia. Namun gagasan tersebut nampaknya akan terbentur oleh Pasal 13 dan Pasal 68.
Pasal 13
Pedagang, PTPMSE, dan Penyelenggara Sarana Perantara berkedudukan di luar negeri yang melakukan transaksi Perdagangan melalui sistem elektronik dengan Konsumen yang berkedudukan di Indonesia dianggap melakukan kegiatan operasional di Indonesia.
Pasal 68
Pelaku Usaha yang menawarkan secara elektronik kepada Konsumen Indonesia dianggap memenuhi kehadiran secara fisik di Indonesia dan melakukan kegiatan usaha secara tetap di Indonesia.
Selama Anda terdaftar sebagai warga negara Indonesia, belanja online di negara manapun akan mengikuti perundang-undangan, lalu pasal 68 “memaksa” layanan marketplace asing untuk tunduk dengan aturan-aturan di dalam negeri.
Di sisi lain, RUU TPMSE “memaksa” layanan e-commerce dan marketplace untuk menerima proses refund dan retur.
Pasal 77
Mewajibkan para pedagang dan PTPMSE untuk memberikan jangka waktu paling sedikit dua hari kerja untuk penukaran barang terhitung sejak barang diterima konsumen. Barang yang dapat ditukar ialah yang tidak sesuai, rusak, atau kadaluwarsa.
Pada pasal tersebut, konsumen yang menukarkan barang dibebankan biaya pengiriman kembali, padahal di negara maju seperti Amerika Serikat proses retur rata-rata tidak membebankan biaya apapun ke konsumen. Bagaimana jika pengiriman dilakukan ke Papua, yang biaya pengirimannya mahal, dan konsumen harus menanggung tambahan biaya pengiriman kembali? Untuk beberapa marketplace besar, seharusnya ada kemitraan lebih jauh dengan layanan logistik untuk memudahkan proses retur ini.
Jalan panjang yang harus ditempuh para pemegang kepentingan agar bisa merealisasikan ekosistem e-commerce yang lebih baik. Kementerian Perdagangan yang mengusulkan RPP ada baiknya duduk bersama asosiasi dan para pemain e-commerce guna merampungkan dan menyempurnakan pasal-pasal yang masih cenderung rancu.
Memang RPP TPMSE tidak melulu bernada negatif. Semangat yang diusung adalah supaya konsumen terlindungi dari permasalahan saat transaksi yang dilakukan secara online tidak berjalan seperti yang diharapkan. Meskipun demikian, ada beberapa pasal yang diusulkan dan tampaknya terlalu ketat, bahkan dibanding praktek di negara maju sekalipun.
RPP TPMSE tertanggal 21 Juni 2015 ini memiliki 87 pasal yang belum rampung secara keseluruhan. Disebutkan bahwa kewajiban verifikasi data diperuntukkan bagi kedua belah pihak, ternyata pada RPP hanya mewajibkan untuk pihak pedagang saja. Bunyi pasal tersebut ialah:
Pasal 18
Ayat (1): Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan transaksi perdagangan melalui sistem elektronik wajib memiliki tanda daftar khusus sebagai Pelaku Usaha Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dari Menteri.
Ayat (2): PTPMSE dan pedagang yang memiliki sistem TPMSE sendiri wajib memiliki izin khusus perdagangan melalui sistem elektronik dari Menteri.
Pasal 19
Ayat (1): Bagi Pelaku Usaha yang telah terdaftar sebagai Pelaku Usaha Transaksi Perdagangan Melalui Sistem elektronik akan mendapatkan Nomor Identitas Perusahaan Secara Elektronik.
Ayat (2): Nomor Identitas Perusahaan Secara Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat dicantumkan dan/atau digunakan sebagai identitas hukum Pedagang atau PTPMSE.
Berdasarkan pasal tersebut, ada tanda daftar khusus yang harus diperoleh sebelum melakukan usaha berbasis online. Tanda daftar khusus yang dimaksud seharusnya membutuhkan nomor KTP dan NPWP sebagai bukti legitimasi bisnis yang dijalankan. Jika pada prosesnya menimbulkan kepelikan tersendiri, tak heran jika nantinya para pelaku e-commerce akan kembali memanfaatkan media sosial untuk berdagang.
Regulasi ini hanya akan meng-expose pemain e-commerce berbasis di Indonesia. Maka tak ayal jika nantinya para pemain akan pindah ke luar negeri, atau alternatifnya para pembeli akan melakukan transaksi di AliExpress, Amazon, eBay, atau situs-situs yang tidak terekspos ke regulasi Indonesia. Namun gagasan tersebut nampaknya akan terbentur oleh Pasal 13 dan Pasal 68.
Pasal 13
Pedagang, PTPMSE, dan Penyelenggara Sarana Perantara berkedudukan di luar negeri yang melakukan transaksi Perdagangan melalui sistem elektronik dengan Konsumen yang berkedudukan di Indonesia dianggap melakukan kegiatan operasional di Indonesia.
Pasal 68
Pelaku Usaha yang menawarkan secara elektronik kepada Konsumen Indonesia dianggap memenuhi kehadiran secara fisik di Indonesia dan melakukan kegiatan usaha secara tetap di Indonesia.
Selama Anda terdaftar sebagai warga negara Indonesia, belanja online di negara manapun akan mengikuti perundang-undangan, lalu pasal 68 “memaksa” layanan marketplace asing untuk tunduk dengan aturan-aturan di dalam negeri.
Di sisi lain, RUU TPMSE “memaksa” layanan e-commerce dan marketplace untuk menerima proses refund dan retur.
Pasal 77
Mewajibkan para pedagang dan PTPMSE untuk memberikan jangka waktu paling sedikit dua hari kerja untuk penukaran barang terhitung sejak barang diterima konsumen. Barang yang dapat ditukar ialah yang tidak sesuai, rusak, atau kadaluwarsa.
Pada pasal tersebut, konsumen yang menukarkan barang dibebankan biaya pengiriman kembali, padahal di negara maju seperti Amerika Serikat proses retur rata-rata tidak membebankan biaya apapun ke konsumen. Bagaimana jika pengiriman dilakukan ke Papua, yang biaya pengirimannya mahal, dan konsumen harus menanggung tambahan biaya pengiriman kembali? Untuk beberapa marketplace besar, seharusnya ada kemitraan lebih jauh dengan layanan logistik untuk memudahkan proses retur ini.
Jalan panjang yang harus ditempuh para pemegang kepentingan agar bisa merealisasikan ekosistem e-commerce yang lebih baik. Kementerian Perdagangan yang mengusulkan RPP ada baiknya duduk bersama asosiasi dan para pemain e-commerce guna merampungkan dan menyempurnakan pasal-pasal yang masih cenderung rancu.