Setelah membaca kembali putusan Mahkamah
Konstitusi No. 50/PUU-VI/2008 tentang judicial review Pasal 27 ayat 3 UU
ITE jo Pasal 45 ayat 1 UU ITE, alasan sanksi pidana pada UU ITE lebih
berat dari sanksi di dalam KUHP adalah adanya efek masih dari penggunaan
internet sebagai media yang berbeda dari media konvensional.
Berdasarkan hal tersebut Mahkamah Konstitusi menganggap wajar perbedaan
sanksi tersebut, dengan kata lain sudah sepantansnya jika di dalam UU
ITE sanksinya lebih berat.
Alasan lengkap Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:
Bahwa salah satu perbedaan antara
komunikasi di dunia nyata dengan dunia maya (cyberspace) adalah media
yang digunakan, sehingga setiap komunikasi dan aktivitas melalui
internet akan memiliki dampak bagi kehidupan manusia dalam dunia nyata,
misalnya melalui transfer data, melalui distribusi dan/atau transmisi
dan/atau dapat diaksesnya informasi dan dokumentasi elektronik juga
dapat menimbulkan dampak negatif yang sangat ekstrim dan masif di dunia nyata. Oleh karena itu, meskipun
berat ringannya sanksi adalah wewenang pembentuk undang-undang, namun
menurut Mahkamah, konsep pemidanaan dalam UU ITE merupakan delik yang
dikualifikasi sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik sehingga
konsepnya akan mengacu kepada KUHP namun ancaman pidananya lebih berat. Perbedaan
ancaman pidana antara KUHP dengan UU ITE adalah wajar karena distribusi
dan penyebaran informasi melalui media elektronik relatif lebih cepat,
berjangkauan luas, dan memiliki dampak yang masif.
Jadi, apakah karena menggunakan media
internet maka wajib hukumnya ketentuan pidana UU ITE dibuat lebih berat
daripada ketentuan pidana konvensional di dalam KUHP atau UU yang
mengatur perbuatan yang sama? Jika mengikuti logika hukum putusan
tersebut maka bisa dikatakan demikian. Tetapi jika kita merujuk kepada
perundang-undangan lain, maka alasan ini tidak sepenuhnya benar.
Penyebaran berita bohong, atau dalam
bahasa pergaulan disebut dengan hoax, menurut UU ITE diancam dengan
pidana penjara 6 tahun dan/atau denda 1 Milyar rupiah. Hal tersebut
diatur di dalam Pasal 28 ayat jo Pasal 45 ayat 2 UU ITE:
Pasal 28
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan
tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan
kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik
Pasal 45
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Bandingkan dengan ketentuan pidana Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana:
Pasal 14.
(1). Barang siapa, dengan menyiarkan
berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran
dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun
Dapat diduga para penyusun Pasal 14 UU
No. 1 Tahun 1946 tidak akan mengetahui bahwa kelak pada tahun 2008,
puluhan tahun selepas meninggalnya mereka, internet akan berkembang
begitu pesat sehingga muncul UU ITE yang justru memuat ancaman pidana
yang lebih ringan terhadap penyebaran hoax dengan media internet. Patut
diduga juga mereka tidak akan mengetahui bahwa sanksi pidana yang mereka
buat lebih “nendang” ketimbang sanksi pidana yang dibuat oleh tim perumus UU ITE.
Mungkin mereka akan bertanya-tanya, “lho katanya kalo
memakai media internet ancaman pidana lebih berat itu wajar, kok
ketentuan pidana untuk penyebaran hoax di UU ITE lebih ringan daripada
UU No. 1 Tahun 1946?”