30 October 2012

PETRUS = Penembak Misterius

Kasus-kasus penembakan misterius (petrus) pada 1982-1985 silam kini jadi bahan pembicaraan lagi. Pekan lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan ada pelanggaran HAM berat dalam pembunuhan sistematis atas para preman dan orang-orang yang dituduh melakukan kejahatan.

“Temuan ini sudah kami serahkan ke Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti,” kata Ketua Tim Adhoc Penyelidik Pelanggaran HAM dalam kasus Petrus, Stanley Adi Prasetyo.

Penyelidikan Komnas HAM menemukan bahwa ada indikasi kuat pemerintah Orde Baru sengaja merestui sebuah program pembunuhan massal untuk mengatasi gangguan keamanan kala itu. 
Seorang pria yang disebut-sebut sebagai pelaku pertama operasi petrus di Jawa Tengah.

Namanya M. Hasbi, bekas Komandan Kodim 0734 Yogyakarta. Setelah menjabat komandan militer, dia sempat menjadi Bupati Boyolali sampai 1994. Dia juga sempat menjadi anggota DPRD Jawa Tengah dari Partai Golkar. Kini Hasbi adalah Ketua Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan POLRI (Pepabri) Jawa Tengah.

Berikut ini petikan wawancaranya:
Apa latar belakang operasi Petrus pada 1980-an?
Kondisi keamanan masyarakat ketika itu sangat terganggu oleh keberadaan para gali. Anda tahu apa itu gali? Gabungan anak liar. Mereka sangat menganggu dan meresahkan masyarakat sehingga harus diberantas. Operasi Petrus itu mulai November 1982, saat saya bertugas di Yogyakarta sebagai Dandim.

Apa buktinya preman kala itu mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat?
Indikasinya sangat jelas, setiap malam hari para mahasiswa di Yogyakarta sudah tak berani keluar karena takut pada gali. Operasi petrus adalah shock therapy supaya tidak ada tindak kejahatan lagi. 

Bagaimana awal mulanya Operasi Petrus dijalankan? 
Saat kondisi keamanan terganggu, saya melapor ke Pangdam Diponegoro, Pak Ismail. Dia bilang, “Ya sudah diberantas saja.” Saya lalu bilang, “Siap laksanakan.” Saya segera berkoordinasi dengan polisi. 

Untuk apa?
Kami membuat daftar nama preman. Sumber datanya berasal dari laporan masyarakat yang kemudian disaring di Badan Koordinasi Intelijen. Badan Koordinasi Intelijen ini berisi intel Kodim, intel polisi serta intel kejaksaan. 

Berapa jumlah preman yang masuk dalam daftar Anda
Saya lupa. Sudah lama kok.

Setelah didaftar lalu bagaimana? 
Setelah itu, semua preman yang masuk daftar diumumkan dan dipanggil. Para preman diminta lapor untuk diberi Kartu Tanda Lapor (KTL). Semua preman yang sudah bisa menunjukan KTL akan aman. 

Yang tidak bisa menunjukkan KTL?
Ya sesuai standar, ada operasi. Jika premannya malah lari maka diberi tembakan peringatan tiga kali. Jika tetap lari, akan ditembak kakinya. Tapi, kadang-kadang ya, tembakan itu malah kena kepala atau tubuh, karena medannya naik turun atau dia malah merunduk. Itu semua di luar dugaan. 

Berapa preman yang tewas dalam operasi ini?
Saya tidak ingat. Sudah lama sekali. 


Apakah menurut Anda, penembakan misterius ini melanggar aturan?
Saya kira tidak melanggar. Buktinya, saat itu tak ada reaksi penolakan masyarakat. Gali-gali itu sudah sangat meresahkan masyarakat. 

Apakah sekarang Anda menyesal karena berperan menghilangkan nyawa banyak orang?
Waktu itu, ada perintah dari atasan.
Apa kira-kira Pangdam Diponegoro juga mendapat perintah dari atasannya?
Saya tidak tahu, tapi saat itu yang jelas ada operasi Petrus di hampir seluruh wilayah Indonesia.


Sejarah Misteri Penembak Misterius (Petrus)

Tahun 1980-an suasana Yogyakarta tiba-tiba berubah mencekam. Para preman yang saat itu dikenal sebagai gabungan anak liar (Gali) dan menguasai berbagai wilayah operasi tiba-tiba diburu tim OPK aka Operasi Pemberantasan Kejahatan yang kemudian dikenal dengan Petrus atau penembakan misterius. Ketika melakukan aksinya tak jarang suara letusan senjata para penembak misterius terdengar oleh masyarakat sehingga menimbulkan suana mencekam. Mayat dari aksi Petrus itu umumnya mengalami luka di kepala serta leher dan dibuang di lokasi yang mudah ditemukan penduduk. Dan saat mayat ditemukan akan langsung menjadi headline media massa yang terbit di Yogyakarta.

Berita terbunuhnya para tokoh gali itu sontak membuat heboh dan menjadi pembicaraan seantero wilayah DIY hingga pelosok kampung. Meskipun merupakan korban dari penembakan misterius, sudah menjadi rahasia umum warga Yogyakarta saat itu bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh pihak militer. Sasaran penembakan misterius saat itu adalah pentolan-pentolan gali terkenal, yaitu mereka-mereka yang secara terang-terangan menguasai satu lokasi atau daerah, memungut uang keamanan dari daerah itu, bila ada yang melawan bakalan dianiaya di tempat terbuka, merampok dan melakukan kejahatan secara terang-terangan. Polisi setempatpun dibuat hilang nyali oleh tokoh-tokoh gali ini.

Aparat keamanan di Yogyakarta melakukan Operasi Penumpasan Kejahatan (OPK) terhadap para gali ini dikarenakan tindak kejahatan para gali sudah sangat keterlaluan, bahkan masyarakat DIY cenderung lebih takut kepada gali dibanding aparat kepolisian. Turunnya militer dalam operasi OPK diakui sendiri oleh Letkol M. Hasbi yang saat itu sebagai Komandan kodim 0734 yang sekaligus merangkap Kepala Staf Garnisun Yogyakarta.

Meskipun cara kerja tim ini tidak pernah diumumkan secara formal namum modus operandinya senderi dapat dikenali dari cara meng-eksekusi para gali. Tim OPK akan melakukan briefing sebagai langkah operasi yang standar, selanjutnya menentukan target, melakukan penyergapan, saat target berhasil ditemukan ada dua opsi: ditembak di tempat itu juga atau dibawa dulu untuk selanjutnya dieksekusi di tempat lain. Selanjutnya mayat korban dimasukkan ke dalam karung atau langsung dilempar di tempat yang mudah di temukan. Esoknya Tim OPK akan mengecek hasil operasinya melalui surat kabar yang terbit pada hari itu sekaligus mengukur tingkat kehebohan masyarakat.

Aksi OPK dengan modus operandi semacam itu dengan cepat menebar teror dan ketegangan bagi para pelaku kejahatan secara nasional, karena korban OPK di kota lain juga mulai berjatuhan. Pentolan-pentolan gali yang selama ini seolah tidak tersentuh berjatuhan dengan luka tembak mematikan di kepala dan leher. OPK secara psikologis mampu menekan angka kriminalitas dengan melakukan pembunuhan secara terang-terangan.

Pada tahun 1982, Presiden Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilannya membongkar aksi perampokan yang meresahkan masyarakat sekaligus dinilai sukses dalam melancarkan aksi OPK. Pada bulan Maret tahun yang sama pada acara khusus membahas persoalan pertahanan dan keamanan, Rapim ABRI, Presiden meminta secara langsung kepada jajaran Polri —- waktu itu masih menjadi bagian dari ABRI —- untuk mengambil langkah pemberantasan kejahatan secara lebih efektif untuk menekan tingkat kejahatan. Permintaan presiden tersebut diulangi dalam pidato resmi kenegaraan pada 16 Agustus 1982. Hal inilah yang menyebabkan Pangkopkamtib Laksamana Soedomo melakukan rapat koordinasi bersama Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta. Dan dari rapat koordinasi ini lahirlah operasi pemberantasan kejahatan yang bersandi Operasi Clurit.

Indikator mengapa Operasi Clurit atau Petrus tahun 1982 digelar:

Wibawa aparat kepolisian sudah tidak dipandang lagi
Kejahatan dilakukan secara terang-terangan dan semakin berani
Keresahan masyarakat sudah memuncak
Kelompok preman sudah mencapai populasi yang besar sehingga sulit untuk diatur dan dikendalikan
Presiden sudah ikut berbicara yang suka tidak suka itu merupakan titah langsung

Setelah keputusan untuk melaksanakan Operasi Clurit di Jakarta dan sekitarnya, selanjutnya operasi tersebut diikuti oleh Polri/ABRI di masing-masing provinsi lainnya. Babak baru perang terhadap preman pun dikumandangkan dan korban Operasi Clurit pun mulai berjatuhan.

Petrus di Yogyakarta
Di Yogyakarta selama sebulan OPK telah enam tokoh penjahat tewas terbunuh. Rata-rata mayatnya ditemukan dengan luka tembak mematikan di leher dan kepala. Dua diantara korban OPK yang berhasil diidentifikasi bernama Budi alias Tentrem (29) dan Samudi Blekok alias Black Sam (28). Budi yang terkenal dan ditakuti dengan geng Mawar Irengnya, mayatnya ditemukan dalam parit di tepi jalan daerah Bantul, selatan Yogyakarta, pada tahun 1985. Sedangkan Black Sam aliasr Samudi mayatnya ditemukan terbujur kaku di semak belukar di kawasan Kotagede yg tidak jauh dari pusat kota Yogyakarta.

Cara membuang dua orang pentolan dunia hitam di Yogyakarta dengan jelas menyiratkan pesan kepada para gali dan bromocorah yang masih hidup untuk segera menyerahkan diri secara baik-baik kepada petugas atau menyusul mati rekan mereka. Benar-benar pesan singkat namun mematikan dan sangat jelas.

Sekitar 60 bromocorah di Yogyakarta yang menjadi korban Petrus selama OPK berlangsung. Beberapa menemui ajal dengan ditembak dan sisanya mati dengan luka senjata tajam. Sejumlah korban bahkan oleh petugas keamanan diumumkan mati karena dikeroyok massa, salah satunya yang diberitakan tewas dikeroyok massa bernama Ismoyo. Seorang seorang bromocorah elite karena merupakan lulusan Fakultas Sosial Politik UGM dan statusnya PNS!!! Gali yang digaji oleh negara…hebat!

Berbeda dengan Ismoyo yang diberitakan tewas akibat dikeroyok massa, Slamet gaplek tewas dengan berondongan 20 peluru yang menerjang tubuh kebalnya. Konon saat masih hidup Slamet gaplek merupakan bromocorah kebal kabacokan tapi tidak dengan peluru tajam ternyata dan tubuhnya yang penuh luka itupun dibuang di tempat yang mudah ditemukan sehingga menjadi shock therapy yang berefek maksimal.

OPK di Semarang

Operasi Pemberantasan Kejahatan di Semarang pada tahun 1983 bisa menunjukkan bahwasanya preman yang dulunya dekat dengan kepentingan politik untuk keperluan politik semisal menjadi pendukung partai tertentu di saat sudah dirasa tidak berguna maka Petruslah jawabannya.

Bathi Mulyono salah satu tokoh preman yang dimaksud di atas. Mantan preman ini yang malang -melintang di dunia hitam Semarang saat keluar dari penjara langsung menduduki jabatan sebagai ketua Yayasan Fajar Menyingsing karena statusnya sebagai tokoh preman yang disegani di Semarang. Organisasi massa ini menghimpun ribuan residivis dan pemuda yang ada di kawasan Jawa Tengah. Secara politik Yayasan Fajar Menyingsing cukup berpengaruh dan di-beking oleh para petinggi Jawa Tengah kala itu. Seperti Gubernur Supardjo Rustam, Ketua DPRD Jawa Tengah Widarto dan pengusaha Soetikno Widjoyo.

Secara politik Yayasan Fajar Menyingsing cukup berpengaruh dan di-beking oleh para petinggi Jawa Tengah kala itu. Seperti Gubernur Supardjo Rustam, Ketua DPRD Jawa Tengah Widarto dan pengusaha Soetikno Widjoyo.

Berkat dekat dengan elite kekuasaan di Jawa Tengah itulah Bathi Mulyono mampu membangun dan menjalankan bisnisnya dengan lancar. Bisnisnya dari penyedia jasa keamanan hingga menguasai lahan parkir di Jawa tengah. Tidak hanya itu, hubungan Bathi dengan penguasa juga merambah ke dunia politik. Para elite politik menggunakan jasa preman dari Yayasan Fajar Menyingsing untuk digunakan sebagai kelompok-kelompok milisi yang diberdayakan saat musim kampanye pemilu datang.

Partai Golkar sebagai penggerak politik orde baru kerap menggunakan jasa preman untuk mengamankan jalannya kampanye dan sekaligus menggalang massa. Seperti yang terjadi pada tahu 1982. Saat itu Bathi dan kawan-kawannya mendapat tugas dari Partai Golkar untuk menggalang dan memprovokasi massa Partai Persatuan Pembangunan yang sedang berkampanye di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Betrokpun terjadi dan korban berjatuhan sehingga beberapa orang yang dianggap perusuh tertangkap, namun Bathi dan rekan-rekannya bisa lolos dengan mudah. Insiden ini membuat murka Presiden Soeharto dan menyalahkan petinggi BAKIN, Ali Moertopo.

Berkat perlindungan para elite politik itulah Bathi merasa aman dari colekan aparat keamanan. Namun rasa aman Bathi tidak berlangsung lama ketika OPK yang digelar di Semarang mulai menyasar kawan-kawan dekatnya di Yayasan Fajar Menyingsing, seperti Edy Menpor dan Agus TGW yang hilang secara misterius. Diduga kedua rekan dekat Bathi tersebut hilang akibat korban operasi penembakan misterius, meskipun mungkin dengan agenda yang lain.

Puncaknya terjadi pada tengah malam di bulan Juli 1983. Tiba-tiba dua motor menyalip Bathi yang sedang mengendarai mobilnya melintas di Jalan Kawi, Semarang. Dua peluru menembus bodi mobil namun tidak mengenai Bathi. Karena sadar nyawanya menjadi target Petrus, Bathi segera melarikan diri bersembunyi di Gunung Lawu, gunung yang terletak di perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur. Gunung yang diyakini sebagai petilasan terakhir dari keturunan terakhir Kerajaan Majapahit, Prabu Brawijaya.

Setelah OPK mereda, Bathi baru berani turun gunung dan menjadi salah satu target OPK yang masih hidup hingga kini.

Bag 3
Operasi Pemberantasan Kejahatan(OPK) tidak hanya menyasar penjahat di Yogyakarta dan Semarang saja, namun juga berlangsung di Ibukota, Jakarta dan kota besar lainnya. Korban OPK di Jakarta dan kota besar lainnya tidak kalah banyaknya kerena banyak mayat korban pembunuhan ditemukan di perbagai tempat di ibukota dan kota lainnya.

Sama dengan kondisi mayat di Yogyakarta dan Semarang, mayat-mayat yang ditemukan di Jakarta juga dalam keadaan tewas dengan luka tembak di kepala, leher dan dada. Selain itu mayat-mayat tersebut juga dihiasi tato di tubuhnya dan ciri khas lainnya, mayat yang diketemukan di Jakarta kebanyakan mengambang dalam karung yang hanyut di sungai dan dalam kondisi mayat terikat.

Ditinjau dari korban OPK yang merata di kota-kota besar tanah air, ini menunjukkan fakta bahwasanya OPK memang sengaja dilancarkan dengan skala nasional dan ternyata cukup berhasil menumpas angka kejahatan secara telak.

Pada tahun 1983 Petrus berhasil menamatkan riwayat 532 orang pelaku / terduga pelaku tindak kriminal. Dari jumlah tersebut sebanyak 367 orang tewas tertembak. Tahun 1984 angka pembunuhan korban Petrus menurun menjadi 107 orang dan hanya 15 orang yang tewas akibat tembakan, sisanya dengan sebab beragam. Angka ini terus menurun pada tahun 1985, pada tahun ini tercatat 74 korban OPK dan sebanyak 28 orang tewas akibat tembakan. Secara umum kondisi mayat ditemukan dalam keadaan leher dan tangan terikat, mayatnya dimasukin karung dan dibuang di tepi jalan, depan rumah, dibuang di sungai, kebun atau hutan begitu saja.

Dari ciri khas cara penculikan dan penjemputan korban oleh aparat, cara eksekusi, perlakuan terhadap mayat hingga proses pembuangan memang OPK dilancarkan untuk memberi shock therapy yang sangat efektif. Akibatnya pemberitaan media sangat gencar mengenai operasi Petrus yang sukses membereskan ratusan penjahat dan operasi itu tetaplah sebuah misteri tersendiri.

Benny Moerdani sebagai Panglima Kopkamtib memberikan pernyataan kepada pers bahwa penembakan gelap yang terjadi mungkin akibat dari perkelahian antar geng bandit. Wartawanpun tidak ada yang berani melanjutkan pertanyaan kepada jenderal yang kaya pengalaman tempur ini yang terkenal tegas dan galak. Hal senada juga disampaikan oleh kepala Bakin saat itu, Yoga Soegama “masyarakat tak perlu mempersoalkan para penjahat yang mati misterius”. Wapres H. Adam Malik berpendapat berbeda, ” Jangan mentang-mentang penjahat dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi mati. Jadi syarat sebagai negara hukum sudah terpenuhi. Setiap usaha yang bertentangan dengan hukum akan membawa negara ini pada kehancuran.” Demikian kecamnya.

Memang tindakan OPK akhirnya menimbulkan pro dan kontra tidak hanya di kalangan masyarakat namun juga di lingkungan pejabat negara. Pro dan kontra tersebut lebih pada sasaran OPK, bukan bagaimana OPK tersebut dilakukan. Karena menurut pendapat yang kontra, mereka keberatan bila sasaran OPK hanya penjahat kelas teri atau yang hanya memiliki tato tetapi bukan penjahat kakap.

Karena menurut pendapat yang kontra, mereka keberatan bila sasaran OPK hanya penjahat kelas teri atau yang hanya memiliki tato tetapi bukan penjahat kakap.

Pembunuhan selama era OPK sendiri telah menelan korban jiwa sebanyak 3.000 orang. Hal ini dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri Belanda, Hans van den Broek dalam kunjungannya ke Jakarta medio awal Januari 1984.

Beberapa tahun setelah peristiwa Petrus, Presiden Soeharto justru memberikan uraian tentang latar belakang permasalahan. Dalam bukunya Benny Moerdani hal 512 – 513 Pak Harto berkata:

“Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment therapy, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya harus dengan kekerasan. Tetapi bukan lantas dengan tembakan dor-dor! Begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak. Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bertindak dan mengatasinya.

Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan. Maka kemudian redalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu”.

Demikianlah bila seorang jenderal besar berbintang lima sudah bertitah, macam-macam dengan keamanan dalam negeri…DOR!! Besok pagi nama dan jasadnya sudah terpampang di media cetak nasional.

Berikut Ini Adalah Cerita Korban Selamat Bathi Mulyono

Ketegangan melingkupi sebuah rumah di Semarang, suatu malam di tahun 1983. Di luar rumah, beberapa lelaki misterius bersenjata mondar-mandir mengirimkan isyarat maut. Kecemasan dan harapan menanti kehadiran anggota baru keluarga bercampur dengan ketakutan karena maut menguntit sang ayah.

"Waktu itu saya masih dicari-cari orang. Saya sembunyi di atap rumah. Istri saya mau melahirkan. Saya sembunyi, menunggu anak saya lahir. Begitu lahir dan saya tahu perempuan, saya lempar kertas ke bawah, lalu saya lari. Anak itu saya beri nama Lita," tutur Bathi Moelyono, salah seorang korban yang selamat dari penembakan misterius tahun 1983.
Bathi Moelyono
Bathi Moelyono
Ketegangan dan ketakutan campur aduk mewarnai kelahiran anak keenam Bathi. Bukan hanya mencemaskan keselamatan anak dan istri, tapi juga khawatir pada keselamatan sendiri. Saat itu para "algojo" misterius berkeliaran di sekitar rumah mencari dirinya.

Kehadiran Lita Handayani ke dunia tidak disambut suasana gembira. Para tetangga bahkan tidak berani mendekat untuk sekadar mengucap selamat. Mereka tahu, berdekatan dengan keluarga Bathi Moelyono dapat berujung petaka.

Tahun 1983 itu hingga sepuluh tahun berikutnya merupakan masa terberat bagi Bathi dan keluarganya. Setelah melemparkan kertas bertuliskan nama anaknya, Bathi melarikan diri. Lereng Gunung Lawu di Magetan, Jawa Timur, dipilih sebagai tempat persembunyian pertama. Setelah itu beberapa tempat lain yang dirasa aman menjadi tujuan pelariannya.

Selama buron Bathi mengalami beberapa peristiwa tragis yang kadang konyol. "Waktu itu saya di Sumowono (Semarang selatan). Lewat mobil bak terbuka dan saya menumpang. Di mobil itu ada beberapa orang berbaju hitam, juga karung-karung goni. Begitu saya naik dan duduk di atas karung goni, terdengar suara mengaduh. Orang di sebelah saya bilang 'Pak, tahu ndak, yang Bapak duduki itu isinya orang'. Saya langsung merinding," ujarnya.

Melihat gelagat tidak beres dan khawatir orang-orang itu mengenali dirinya, Bathi meminta turun dari mobil. Tidak lama berselang, di hutan jati tak jauh dari tempatnya turun, terdengar suara rentetan tembakan. "Bayangkan bagimana perasaan saya. Jadi, saya satu mobil dengan orang yang mau membunuh saya," kenangnya.

Bathi Moelyono lahir di Semarang tahun 1947. Jagoan kampung ini pernah masuk penjara pada tahun 1970 karena membunuh dan merampok. Keluar dari penjara, Bathi dipercaya "menggarap" preman-preman di Semarang dan menggalang massa untuk mencoblos Golkar.

Dia kemudian memimpin Yayasan Fajar Menyingsing yang beranggotakan bekas narapidana se-Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dari pemimpin Golkar Jawa Tengah saat itu Bathi tahu dirinya menjadi target operasi pembunuhan misterius.

"Saya menjadi pemimpin Fajar Menyingsing adalah bagin dari setting penguasa saat itu, baik jaringan yang berkaitan dengan politik dalam hal ini Golkar ataupun dengan jaringan yang berkaitan dengan TNI. Mereka jaringan kekuasaan. Organisasi ini di antaranya didanai beberapa pengusaha besar saat itu."

Operasi Penembak Misterius yang dikenal sebagai Petrus awalnya digelar di Jakarta tahun 1983, kemudian melebar ke Yogyakarta dan Semarang. Konon operasi rahasia ini dikomandani langsung Sudomo, Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban saat itu. Orang-orang yang diduga sebagai preman atau gali ditangkap, dikumpulkan di suatu tempat, kemudian ditembak dalam kondisi mata tertutup dan tangan diikat.

Ketika dihubungi VHR, Bathi mengaku lelah menceritakan kisah masa lalunya. Menurut dia, pengalamannya 10 tahun dalam pelarian menghindari kejaran eksekutor Petrus adalah fakta dan bukan novel.

Bathi kecewa atas kerja Komnas HAM terdahulu yang dinilainya lamban. Dia juga sudah tidak lagi mempercayai institusi-institusi negara lainnya. Saat Komnas HAM dipimpim Abdul Hakim Garuda Nusantara, 4 kali Bathi dimintai kesaksian seputar Penembakan Misterius.

Banyak juga data dan dokumen yang telah ia serahkan untuk membantu upaya penyelesaian hukum kasus ini. Namun hanya kekecewaan yang didapat. "Kalau hanya untuk melengkapi kepustakan supaya terlihat bekerja, mending nggak usahlah. Mereka (Komnas HAM) makan gaji buta kalau begitu. Jadi, kalau mereka nggak bisa selesaikan masalah ini lebih baik Komnas HAM bubar saja," ujarnya.

Kekecewaan itu ternyata membuahkan album luapan hati yang ditulis sendiri dan dinyanyikan anaknya, Lita Handayani. Album itu berisi kisah dan perasaan Bathi serta sejumlah korban pelanggaran HAM masa lalu yang hingga kini belum mendapatkan keadilan. Album lagu itu dicetak 5.000 keping dan sudah habis dibagikan.

Bathi pasrah apa pun tanggapan masyarakat soal album itu. Dia juga tidak lagi banyak berharap pelaku Petrus akan diadili. Dia tidak mau lagi kecewa atas harapan-harapan itu. "Ini naif sekali. Jika Komnas HAM bicara soal penegakan HAM, mengapa mereka makan di atas bangkai manusia korban HAM? Saya muak dengan Komnas HAM," ujarnya.