16 January 2014

CYBERCRIME: Alasan Sanksi Pidana Lebih Berat Pada UU ITE

Setelah membaca kembali putusan Mahkamah Konstitusi No. 50/PUU-VI/2008 tentang judicial review Pasal 27 ayat 3 UU ITE jo Pasal 45 ayat 1 UU ITE, alasan sanksi pidana pada UU ITE lebih berat dari sanksi di dalam KUHP adalah adanya efek masih dari penggunaan internet sebagai media yang berbeda dari media konvensional. Berdasarkan hal tersebut Mahkamah Konstitusi menganggap wajar perbedaan sanksi tersebut, dengan kata lain sudah sepantansnya jika di dalam UU ITE sanksinya lebih berat.


Alasan lengkap Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:
Bahwa salah satu perbedaan antara komunikasi di dunia nyata dengan dunia maya (cyberspace) adalah media yang digunakan, sehingga setiap komunikasi dan aktivitas melalui internet akan memiliki dampak bagi kehidupan manusia dalam dunia nyata, misalnya melalui transfer data, melalui distribusi dan/atau transmisi dan/atau dapat diaksesnya informasi dan dokumentasi elektronik juga dapat menimbulkan dampak negatif yang sangat ekstrim dan masif di dunia nyata. Oleh karena itu, meskipun berat ringannya sanksi adalah wewenang pembentuk undang-undang, namun menurut Mahkamah, konsep pemidanaan dalam UU ITE merupakan delik yang dikualifikasi sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik sehingga konsepnya akan mengacu kepada KUHP namun ancaman pidananya lebih berat. Perbedaan ancaman pidana antara KUHP dengan UU ITE adalah wajar karena distribusi dan penyebaran informasi melalui media elektronik relatif lebih cepat, berjangkauan luas, dan memiliki dampak yang masif.

Jadi, apakah karena menggunakan media internet maka wajib hukumnya ketentuan pidana UU ITE dibuat lebih berat daripada ketentuan pidana konvensional di dalam KUHP atau UU yang mengatur perbuatan yang sama? Jika mengikuti logika hukum putusan tersebut maka bisa dikatakan demikian. Tetapi jika kita merujuk kepada perundang-undangan lain, maka alasan ini tidak sepenuhnya benar.
Penyebaran berita bohong, atau dalam bahasa pergaulan disebut dengan hoax, menurut UU ITE diancam dengan pidana penjara 6 tahun dan/atau denda 1 Milyar rupiah. Hal tersebut diatur di dalam Pasal 28 ayat  jo Pasal 45 ayat 2 UU ITE:
Pasal 28
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik
Pasal 45
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Bandingkan dengan ketentuan pidana Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana:
Pasal 14.
(1). Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun
Dapat diduga para penyusun Pasal 14 UU No. 1 Tahun 1946 tidak akan mengetahui bahwa kelak pada tahun 2008, puluhan tahun selepas meninggalnya mereka, internet akan berkembang begitu pesat sehingga muncul UU ITE yang justru memuat ancaman pidana yang lebih ringan terhadap penyebaran hoax dengan media internet. Patut diduga juga mereka tidak akan mengetahui bahwa sanksi pidana yang mereka buat lebih “nendang” ketimbang sanksi pidana yang dibuat oleh tim perumus UU ITE.
Mungkin mereka akan bertanya-tanya, “lho katanya kalo memakai media internet ancaman pidana lebih berat itu wajar, kok ketentuan pidana untuk penyebaran hoax di UU ITE lebih ringan daripada UU No. 1 Tahun 1946?”